PROBLEMATIKA DALAM KELUARGA

PROBLEMATIKA DALAM KELUARGA[1]

oleh : Pdt. Jotje Hanri Karuh[2]

Keluarga yang bahagia bukanlah keluarga yang tanpa konflik, tanpa masalah. Masalah akan selalu muncul dan selalu ada. Keluarga yang bahagia ialah keluarga yang dapat mengelola setiap problem kehidupan/konflik yang muncul dalam keluarga mereka.

Pernikahan merupakan pertemuan dua pribadi yang berbeda dan unik untuk saling berbagi hidup. Perbedaan diantara dua pribadi itu tidak dapat dihindari. Mereka hidup terpisah lebih kurang 20 – 25 tahun, dan selama jangka waktu itu mereka telah mengembangkan selera, kesukaan, kebiasaan, kesenangan dan ketidaksenangan serta nilai-nilai hidup yang dipegangnya.Sangat tidak masuk  akal apabila kita menuntut dua orang – yang karena menikah – harus selalu melakukan hal yang sama dengan cara yang sama dan pada waktu yang sama.

MASALAH DALAM KELUARGA

Problematika rumah tangga banyak ragamnya. Mulai dari persoalan yang dianggap sepele sampai dengan masalah yang berat dan besar.  Masalah dalam kehidupan berkeluarga dapat muncul ketika:

  • Kehadiran anak pertama yang membuat suami-istri harus menata ulang ritme kehidupannya. Jika tidak siap akan memicu konflik dan ketegangan hubungan antara keduanya.
  • Sang suami harus bekerja 12 jam sehari sedangkan sang istri harus tinggal di rumah mengurus anak dan rumah.
  • Sikap dan tindakan yang kurang berkenan terhadap keluarga dari pihak istri/suami.
  • Anak beranjak dewasa dan mulai sering meninggalkan rumah.
  • Masa pensiun tiba dan keduanya tinggal di rumah.
  • Yang seorang selalu memencet pasta gigi dari bawah, sedangkan yang lain selalu dari atas.
  • Saat berbicara, yang seorang senang bercerita panjang lebar sedangkan yang lain memberikan garis besarnya saja.
  • Yang seorang perlu kamar yang benar-benar gelap untuk tidur sedangkan pasangannya tidur dengan lampu menyala.
  • Yang seorang menganggap bahwa hubungan seksual hanya dapat dilakukan di tempat tidur   dan di bawah selimut sedangkan pasangannya menyukai variasi dan kreatif dalam melakukannya.
  • Yang seorang biasa menggantung baju dimana saja dia suka sedangkan yang lain menata baju dengan gantungan berdasarkan warna dan adanya jarak antar gantungan.
  • Ketika anak dalam keadaan sakit, yang seorang terlihat begitu gelisah sedangkan yang lain tampaknya tenang-tenang saja.
  • Bagi suami – istri yang sama-sama bekerja seringkali perbedaan pendapatan atau penghasilan menjadi masalah, terutama jika pendapatan istri lebih besar dari pendapatan suami.

Adanya masalah yang harus kita hadapi memperlihatkan bahwa kita masih mempunyai kehidupan. Adanya masalah juga berarti hidup pernikahan kita dinamis.

FAKTOR PEMICU MASALAH KELUARGA

Bernard Wiese dan Urban Steinmetz mengatakan hal berikut mengenai masalah yang terjadi dalam rumah tangga: “Ketidaksesuaian pendapat tak terelakkan dalam suatu pernikahan dan kehidupan keluarga. Kadangkala masing-masing pribadi dapat menjadi pesaing, seperti juga penolong dan pelengkap bagi pasangannya. Setiap pasangan harus menghindari sikap menjauhkan diri yang sering muncul ketika konflik terjadi; dan membenahi hubungan mereka supaya tidak ada lagi sakit hati, keinginan untuk saling membalas atau saling menuduh. Untuk dapat mencapai hal itu, perbedaan-perbedaan harus didiskusikan secara terbuka. Sehingga komunikasi yang baik dapat dipulihkan. Reaksi kemarahan memang tak dapat dihindari dalam kehidupan seseorang, tetapi yang paling penting adalah apa yang diperbuat seseorang dengan amarahnya itu.”[3]

Hal lain yang perlu kita perhatikan apabila kita berbicara mengenai problematikan kehidupan rumah tangga ialah apa yang dikatakan oleh H. Norman Wright, seorang konselor keluarga dan pernikahan. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa sekarang ini ada tiga faktor yang berubah pada lembaga pernikahan yang dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan rumah tangga[4], yaitu:

1. Berkurangnya saling pengertian diantara pasangan yang menikah

Masalah utama dalam pernikahan dewasa ini, seperti yang diungkap banyak ahli konseling keluarga, bukanlah:

Seks…….

Uang…….

Anak-anak……..

Memang ketiga hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam keluarga tetapi ada faktor lain yang lebih besar yaitu hilangnya atau lemahnya komunikasi antara suami dan istri. Hilangnya atau lemahnya komunikasi antara suami dan istri dapat menjadikan banyak hal dalam kehidupan berkeluarga – termasuk di dalamnya masalah seks, uang, dan anak-anak – sebagai masalah besar. Norman Wright setuju bahwa hilangnya komunikasi adalah inti masalah di balik meroketnya angka perceraian di masyarakat, termasuk juga di kalangan keluarga kristen. Rapuhnya pernikahan sekarang ini lebih banyak disebabkan lemahnya komunikasi dan kemampuan dalam mengelola konflik. Komunikasi keluarga yang tersumbat akan menghancurkan kehangatan rumah tangga. Kebuntuan komunikasi mendinginkan suasana hubungan antar pribadi yang ada di dalamnya.

Banyak keluarga kehilangan keterampilan berkomunikasi yang sangat dibutuhkan untuk membuahkan saling pengertian guna membangun pernikahan yang kuat dan bertumbuh. Sedangkan konflik yang tidak dikelola dan diselesaikan dengan baik bagaikan api dalam sekan atau menjadi bom waktu yang suatu saat meledak dampaknya tidak terkendali. Dalam pernikahan, saling pengertian tidak hanya berarti tanpa perbedaan, melainkan mampu membicarakan perbedaan tersebut serta memahami pasangannya. Dua orang yang saling mengasihi tetapi tidak mampu memahami isi hati dan pikiran pasangannya akan terus mendapat kesulitan dalam hubungan mereka.

2. Hilangnya tekad untuk mempertahankan pernikahan

Sekarang ini banyak orang yang memasuki pernikahan dengan sikap: Jika tidak cocok mereka dapat mengakhiri hubungan tersebut dan mecoba lagi dengan orang lain, Banyak orang yang sangat tidak sabar dengan hidup pernikahan mereka. Mereka tidak ingin hidup dengan motto “bersenang-senang kemudian.” Mereka ingin hidup dengan motto “bersenang-senang saat ini juga” dan jika tak terpenuhi, mereka menyerah.

3. Berkembangnya harapan-harapan yang tidak realistis terhadap pernikahan

Banyak pasangan muda yang dibutakan oleh harapan-harapan yang tidak realistis ketika memasuki pernikahan. Mereka yakin bahwa hubungan tersebut harus ditandai dengan cinta romantis yang tidak akan pernah surut; dalam waktu singkat mereka akan mendapatkan apa saja yang mereka mau dari pasangan hidupnya, pasangan hidupnya akan selalu sejalan dengan pikiran dan kemauannya, ekonomi keluarga akan berjalan mulus bahkan berkelebihan dan sebagainya. Mereka mencari sesuatu yang “ajaib” di dalam pernikahan mereka. Sebenarnya, kerja keras mereka berdualah yang membuat pernikahan itu menampakkan hasil-hasil yang positif. Itu semua merupakan hasil dari langkah dua orang yang bekerja sama.

BAGAIMANA MENGATASI MASALAH DALAM KELUARGA?

Salah satu kunci keberhasilan dalam menjalani kehidupan berkeluarga ialah kemampuan dalam mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam keluarga sehingga setiap anggota keluarga dapat memainkan perannya secara optimal. Jangan biarkan masalah menguasai kehidupan keluarga anda, tetapi kuasailah masalah dan carilah solusi bersama atas masalah tersebut. Memang ini bukan hal yang mudah tetapi harus diupayakan. Bukankah cara terbaik untuk keluar dari masalah yang kita hadapi adalah dengan menuntaskannya.

Setiap keluarga harus menyadari bahwa cara yang tepat dalam penyelesaian problematika kehidupan rumah tangga (setiap keluarga mempunyai caranya sendiri) memungkinkan terciptanya suatu proses pertumbuhan. Setiap pasangan kristen seharusnya belajar dari berbagai konflik dan tidak mengulang-ngulang hal yang sama tanpa adanya perubahan sikap yang lebih dewasa. Rumah memerlukan ketenangan yang hangat dan kehangatan yang tenang. Oleh sebab itu, berbicara mengenai cara mengatasi dan menyelesaikan problematika yang ada, setiap pasangan Kristen harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut[5]:

  1. Setiap pribadi seharusnya menjadi individu-individu yang mempunyai keinginan  untuk tumbuh di dalam Kristus. Munculnya keinginan ini tidak dapat dibuat-buat dan juga bukan merupakan akibat dari janji yang diucapkan. Dorongan ini merupakan buah dari hubungan pribadi yang sehat dengan Kristus. Kondisi yang positif ini biasanya ditandai dengan kerinduan untuk berdoa dalam pergumulan yang jujur dihadapan Allah dan membaca Alkitab dengan merefleksikannya pada kehidupan pribadi dan keluarga. Dampaknya, prinsip-prinsip kebenaran Alkitab dan nilai-nilai kristiani akan nampak dan dijunjung tinggi.
  2. Setiap pasangan adalah pribadi-pribadi yang mempunyai keinginan untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa. Ia selalu ingin belajar, ingin memberi dan bukan hanya menuntut, serta bersedia untuk berkurban dan melayani. Penyelesaian masalah rumah tangga akan menjadi penyelesaian yang semu apabila setiap pribadi tersebut tidak mempunyai keinginan untuk mengasihi dan membahagiakan pasangannya. Tanpa keinginan dan motivasi yang tulus, maka penyelesaian masalah rumah tangga semata-mata hanyalah untuk membebaskan diri dari gangguan. Pribadi yang yang tidak mempunayi keinginan untuk menjadi lebih dewasa cenderung egosentrik dalam penyelesaian masalah rumah tanga.
  3. Setiap pribadi harus menyadari bahwa penyelesaian masalah keluarga harus dimulai dari diri masing-masing. Setiap pribadi harus mempunyai keinginan yang kuat untuk mempertahankan keutuhan pernikahannya dan berusaha mencari alternatif solusi masalah yang baik untuk semuanya. Dalam Matius 7: 12 diberikan sebuah perintah yang penting untuk kita terapkan yaitu lakukanlah terlebih dahulu kepada orang lain (dalam hal ini suami, istri, anak, atau orangtua kita)  apa yang kita inginkan orang lain perbuat kepada kita. Ayat ini bicara soal prakarsa. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
  4. Siapa kita tidak hanya dilihat dari apa yang kita katakan melainkan juga dari cara kita mengatakan dan berbuat sesuatu kepada pasangan hidup kita (juga kepada anak-anak dan anggota keluarga lainnya). Efesus 4: 32 menegaskan kepada kita bahwa pentingnya keramahan (bukan kemarahan), kasih mesra, serta saling mengasihi dan mengampuni sebagai dasar membicarakan masalah yang ada dalam keluarga. Sedangkan dari Efesus 5:22-31 kita mendapatkan beberapa hal penting sebagai bahan perenungan diri: Apakah saya mencintai pasangan hidup saya seperti Kristus mencintai umatNya? Apakah saya sungguh-sungguh mencintai pasangan hidup saya seperti saya mengasihi diri saya sendiri? Jika jawabannya adalah TIDAK, mulailah untuk melakukan perubahan diri maka pernikahan Anda akan menemukan kembali kehangatannya.
  5. Berpikirlah yang positif terhadap pasangan hidup Anda. Pandangan yang positif akan melahirkan pendekatan dan cara-cara yang positif dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam keluarga. Fokuslah pada kelebihan atau keistimewaan – bukan kelemahan atau kekurangan – pasangan hidup kalian.
  6. Berpikirlah dan rencanakanlah kesuksesan dalam kehidupan keluarga Anda. Ada satu kata yang tidak boleh terlintas dalam pikiran Anda ketika menemukan masalah, yaitu kata CERAI. Jika kata ini sudah terlintas dalam pikiran Anda atau pasangan hidup Anda maka rumah tangga telah berada dalam bahaya besar. Cepat ubah orientasi hidup pernikahan Anda.
  7. Ingatlah selalu akan kasih semula yang membuat kalian saling jatuh cinta dan kemudian memutuskan untuk bersatu dalam ikatan pernikahan. Jika Anda mengasihi pasangan hidup yang Tuhan berikan maka tidak akan ada dalam diri keinginan untuk mengecewakan atau menyakiti, yang ada adalah berbagi kehidupan dengan segala suka dan dukanya.
  8. Selain itu, hal penting yang tidak boleh dilupakan ialah menempatkan Tuhan dan firmanNya sebagai pemandu kehidupan pribadi dan keluarga. Bukankah keluarga yang berbahagia ialah apabila menjadikan Tuhan sebagai “tamu” yang tetap dalam keluarga tersebut.

PENUTUP

Pasangan yang berhasil membina keharmonisan bukanlah mereka yang memiliki pemikiran, perilaku dan sikap yang persis sama — mereka bukan jiplakan dari pasangannya. Mereka adalah pasangan yang sudah belajar menerima keberbedaan melalui proses penerimaan, pengertian, dan akhirnya saling melengkapi. Untuk mewujudkan pernikahan yang berhasil dan langeng dibutuhkan dua orang tetapi untuk menghancurkan cukup diperlukan satu orang saja, entah suami atau istri.

Kita harus ingat bahwa pernikahan adalah satu-satunya permainan yang dapat dan harus dimenangkan oleh kedua belah pihak. Selain itu, pernikahan juga dapat diibaratkan seperti sebuah gunting, yang berpadu sehingga tak terpisahkan; sering bergerak ke arah yang berlawanan, tetapi selalu memotong segala sesuatu yang hadir di antara mereka.

Di akhir tulisan ini saya akan mengutip pentingnya sebuah keluarga yang mampu mengelola konflik bagi kehidupan bersama dari sudut pandang Kong Fut Tze yang menurut saya penting untuk kita simak.

“Apabila ada harmoni di dalam rumah

Maka akan ada ketenangan di masyarakat

Apabila ada ketenangan di masyarakat

Maka ada ketentraman di dalam negara

Apabila ada ketenteraman di dalam negara

Maka akan ada kedamaian di dalam dunia.”


[1] Disampaikan sebagai bahan Bina Pra-Nikah Klasis Bandung pada tanggal 24 Nopember 2007 di GKI Sudirman 638 Bandung.

[2] Pendeta Gereja Kristen Indonesia dengan basis pelayanan di GKI Kebonjati 100, Bandung.

[3] Sebagaimana dikutip oleh H. Norman Wright. Untuk lebih jelasnya lihat pada H. Norman Wright, Persiapan Pernikahan, (Yogyakarta: Gloria, 2000), hlm. 175.

[4] H. Norman Wright, Komunikasi: Kunci pernikahan bahagia, (Yogyakarta: Gloria, 2000), hlm. 14-17.

[5] Pdt. Yusak Susabda PhD, Dkk, Konseling pranikah: Sebuah panduan untuk membimbing pasangan-pasangan yang akan menikah, (Bandung: Mitra Pustaka, 2004), hlm. 92-93.

Tentang blessedday4us

bertempat tinggal di Bandung
Pos ini dipublikasikan di BINA KELUARGA dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar